kilauan zamrud membelah mega..............


Rabu, 26 Maret 2014

Ibu Kota dan Wibawanya (komentar Pakde Borsma dan Pakde Bowo)

ternyata tulisan om Asikin ini dibahas oleh teman-teman papa sesama alumni VM ITB...  berikut adalah komentar Pakde Boersma dan Pakde Bowo.... semua Poety dapat di komputer papa... 
-----------------------------------------------------------------------------
dari Pakde Boersma Ibrahim   

Asikin,
 
aku selalu menghayal mengenai Indonesia ditata dengan baik.. ohh alangkah Indahnya. begitu banyak pantai di Indonesia bisa diciptakan menjadi tempat berrekreasi. Cuaca sangat menunjang. tidak seperti di negara 4 musim. kalau sudah kedinginan mengidam idamkan datangnya matahari, begitu datang hangatnya matahari semua orang bersuka ria, begitu musim dingin muka pada manyun dengan posisi tangan bersidekap.. musim panas 3 bulan terdiri dari, hujan 50%, terang 25%, berawan 25%. nah cuma berapa hari ada matahari ?? jadi seharusnya di Indonesia menikmati keindahan cuaca ya..
Tapi.........hampir semua panca Indra mengatakan tidak...
Penciuman....... bau sampah dan pesing kalau di Bekasi..
Penglihatan..... amburadul di Jakarta..... langit kotor... jalan tumpah ruah segala macam kendaraan.. tidak ada taman kota yang ditata bagus, kalaupun ada banyak tukang baso,es, dll mangkal..
Pendengaran... bising..kali banyaknya manusia. kecuali di Hotel besar ya...
Perasa (Mulut).. kali ini yang masih berlaku, tapi..... daging sekilo jauh lebih mahal dari US. harga mangga sama mahalnya di US, jengkol dan pete sempat menghilang. mudah mudahan diluar Jakarta masih jauh lebih murah ya.
Indera satu aku lupa.... he.. he..
 
Aku setuju dengan pendapatmu... hidup juga mengingkan keindahan bukan hanya perut kenyang. mata perlu sekali dimanjakan dengan keindahan, sehingga pikiran kita selalu segar... nah kalau kota, rumah, jalan, kendaraan tidak mempunyai seni gimana... hambar melihatnya.  Kotanya amburadul, jalannya sumpek campur aduk mobil, motor , rumah tidak mempunyai seni bangunan. wah... butek juga otak....
 
Jadi seni iitu penting....insinyur mobil tidak didampingi oleh designer.. mobilnya mirip kaleng kerupuk jalan... rumah enggak ada seni bisa mirip... gudang beras...
Jadi seni itu penting sekali, ini yang hilang dari masyarakat kita karena  mengutamakan yang lainnya dulu sehingga ibu kota kita terlihat amburadul...
maaf friends aku mengatakan seperti ini bukan karena aku tidak di Jakarta.. Jakarta sudah kehilangan seni setelah ditinggal oleh Bung Karno..pendapatmu Asikin betuullll sekali..
bandung tempo dulu Indah sekali. rumah rumah tertata dengan baik dan bunga bunga tumbuh di pekarangan.. udara sejuk.. kali sudah berubah juga ya...
 
Indonesia tidak punya seni...... ooo tidak...lihat bali.. lihat borobudur, Prambanan...
Cuma banyak orang yang tidak mau memikirkan seni lagi....
Semua teman yang wisata ke Eropa, US, Canada.. pasti takjub melihat bagamana seni membangun kota... ada taman Kota, ada Museum, Bangunan bangunan yang indah dan berseni....
Jadi Asikin selalu taburkan keahlian senimu  kemasyarakat kita termasuk aku dan Villmers lainnya  lho...aku sendiri hanya penikmat seni bukan seniman.
lain kali disambung ceritanya ya... aku lagi santai tadi... jadi sempat buat support tulisanmu...
 
salam hangat.
 
---------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Pakde Bowo
 
Akupun juga suka menghayal,
Kapan penduduk jakarta ini punya kebiasaan antri, mendahulukan orang lain.
Kapan penduduk jakarta ini punya kebiasaan, berbicara dengan baik, menyapa satu sama lain.

Sehingga hidup ini terasa, nyaman, aman dan tenteram, terhindar dari prasangka buruk, kekuatiran dan kecemasan.

Terhindar dari perbuatan perbuatan yang tidak baik, terutama seperti mengambil yang bukan haknya..

kebetualan aku kebangun.
Baca tulisan Boersma,
Tulisan seperti itu justru aku rindukan, agar kita tahu kita ada dimana.
Tidak seperti sekarang ini seolah kita sendiri merasa bingung, ibarat " arep mlebu metu endi ".
 
salam
 

Ibu Kota dan Wibawanya

Hari ini Poety ngenet pakai komputer papa... dan poety dapat tulisan ini di komputer papa..
tulisan dari om Asikin Hasan, teman papa di Villa Merah ITB... yuuuk kita baca.....
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ibu Kota dan Wibawanya

Asikin Hasan  (kurator galeri lontar) 
 
Di Washington, D.C., layar iklan produk industri dilarang mengisi ruang-ruang publik. Bahkan baliho berisi foto presiden dan anggota legislatif, apalagi pendakwah agama, tak punya tempat barang secuil pun. Ruang publik adalah milik publik yang harus bersih dari kepentingan kaum saudagar, propaganda para politikus, organisasi massa, dan kelompok tertentu. Foto-foto presiden Amerika hanya bisa kita temukan dalam bentuk kartu pos, dan produk ekonomi kreatif lainnya di dalam toko-toko seni rupa, ditempatkan setara dengan foto-foto Marylin Monroe atau Elvis Presley, simbol budaya pop Amerika era 60-an.


Ibu kota itu tergambar sebagai lahan terbuka, hutan kota yang lebat, taman-taman dengan banyak kursi tempat warga mengaso sejenak, atau menikmati keindahan dan kenyamanan lingkungan sekitarnya. Pemandangan dominan pada ibu kota itu adalah puluhan museum, monumen, patung para pendiri Amerika, dan tokoh pejuang kemanusiaan. Semua menunjukkan sikap dan cara warga Amerika mendudukkan wibawa dan kehormatan ibu kota mereka.


Pada 16 Mei 1956, ketika pertama kali Presiden RI Sukarno melihat Monumen Washington dan kawasan terintegrasi di sekitarnya, ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Ia menaruh perhatian begitu penting pada monumen, tempat di mana orang akan selalu mengenang hal berharga dalam kehidupan berbangsa. Monumen serupa itu, menurut Bung Karno, hanya bisa dibangun oleh mereka yang bermental patriot komplet. Istilah itu menunjuk pada semangat totalitas bahwa setelah merdeka, pembangunan bangsa tak cukup hanya dari segi pangan dan papan semata, tapi juga dalam seni-budaya. Pembangunan ruang publik dan elemen di atasnya adalah seni budaya itu sendiri.


Dalam perjalanan 50 hari di Eropa dan Amerika itu, Sukarno terinspirasi mendirikan Monumen Nasional (Monas) dan taman kota. Menurut dia, selain kebanggaan, rakyat berhak mendapatkan pemandangan yang menyehatkan bagi matanya, sebagaimana mereka juga berhak berjalan kaki dengan nyaman dan aman di atas trotoar. Di tengah krisis ekonomi dengan inflasi hingga 650 persen ketika itu, Bung Karno seolah melawan teori Abraham Maslow soal jenjang kebutuhan dasar manusia. Bagi Bung Karno, kebutuhan manusia akan seni dan budaya setara dengan kebutuhan dasar lainnya. Keyakinan itulah yang dipegangnya untuk membangun ruang-ruang publik dan proyek yang kita kenal sebagai "mercusuar", membangun apa yang ia sebut sebagai monumen trimatra yang dapat dilihat seribu tahun ke depan.


Sayang Sukarno terlalu cepat pergi, sebelum semua cita-citanya terwujud. Rezim baru yang menggantikannya segera mengalihkan proyek ideal itu ke pembangunan ekonomi dan industri semata, sekaligus keberpihakan pada layar iklan. Kritik Srihadi Sudarsono dalam lukisannya tentang Jakarta yang penuh layar iklan produk Jepang di era 1970-an adalah sebuah tanda awal wibawa Ibu Kota Jakarta telah kandas dilantak kuasa modal dan kepentingan industri. Lukisan itu membuat marah Gubernur DKI Ali Sadikin dengan mencoret lukisan tersebut-belakangan ia meminta maaf kepada pelukisnya.


Celakanya, wajah ibu kota tak hanya dipenuhi layar iklan pelbagai produk industri. Baliho raksasa foto presiden, menteri kabinet, bersaing dengan foto-foto besar pendakwah agama, calon anggota legislatif, dan bendera-bendera partai politik. Pernahkah mereka yang memasang gambar tersebut mengevaluasi sekali saja; apakah publik senang atau justru muak dengan citra yang ditampilkan semena-mena itu?


Sesungguhnya konsep campuran pada pengembangan Kota Jakarta adalah salah satu pintu dari buruk rupa ini. Memang konsep campuran memudahkan kita untuk mendapatkan pelbagai kebutuhan sehari-hari. Tapi ia justru menjadi sumber kekacauan tata ruang itu sendiri, seperti tecermin pada layar iklan yang menguasai seantero kota. Pemerintah DKI akhirnya menempatkan diri seperti polisi lalu lintas. Penertiban Pasar Tanah Abang yang monumental, tak diikuti dengan kawasan lainnya. Jalan-jalan lebar di kawasan Kemayoran yang menjadi pasar dadakan sempat ditertibkan sesaat, kini kembali seperti semula. Pada malam hari kawasan itu berubah menjadi pasar liar yang konon dibekingi aparat, preman, dan ormas tertentu.


Sistem campuran yang membiarkan kota tumbuh mengikuti keinginan bebas pelbagai kelompok, dan berujung pada kekacauan, berbeda dengan National Capitol Park System, rancangan yang mendasari hidup Kota Washington, D.C., yang terasa konservatif demi menjaga wibawa ibu kota. Kendati sudah puluhan presiden Amerika silih berganti, Washington tetap seperti sediakala; menyerupai sebuah taman yang tak hanya indah, nyaman, tapi juga ruang bagi publik untuk belajar. Di dalam kota itu telah disiapkan puluhan museum seni rupa dan ilmu pengetahuan, monumen sejarah, dan perpustakaan yang dapat diakses publik seluas-luasnya. Kurang-lebih seperti Washington, D.C. itulah ibu kota Jakarta yang pernah dibayangkan oleh Bung Karno. *