kilauan zamrud membelah mega..............


Rabu, 12 Juni 2013

C I K A P U N D U N G

Poety baca cerpen karya Om Kurnia .Terbit di Kompas, 9 Juni 2013. Sebenarnya Poety ga gitu ngerti.. cuma senang saja kalau baca tulisannya Om Kurnia, mungkin karena dia teman papa kali ya

Ratapan ini serasa hingar tetapi sebenarnya begitu sayup.


Di atas jembatan kecil aku berdiri, setengah bersandar ke pagarnya yang rendah, diam memandang aliran lemah Cikapundung. Apa yang dia katakan? Tidak ada. Aku malah melihat sesobek hatiku melayang ke permukaannya. Cabikan yang meninggalkan luka sayatan merah dan segaris darah. Terapung merah di atas hitam.

Orang-orang lalu-lalang tanpa melirik sungai yang malas dan mesum. Dulu kukenal ia cantik memikat, meliuk-liuk genit bagai gadis remaja. Pada pagi hari ketika bola emas memanjat langit dengan cahaya pertama yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinarnya sehingga jutaan berlian berpendaran di permukaannya.
Sekarang apa? Bagai naga setengah lumpuh, dia hanya dapat merayap seraya meratap, sedang kota terus tumbuh, dipadati manusia. Dia kehilangan rumpun bambu dan anak-anak, celoteh perawan dan ibu-ibu yang mandi atau mencuci baju.

Sebagian kisah cintaku terekam di sini. Mungkin dia mengulum senyum maklum saat menyaksikan aku untuk pertama kalinya merayu seorang gadis teman sekolah dengan sikap waspada karena khawatir tertangkap basah orang-orang yang berjalan ke sawah.
Cinta monyet memang aneh. Tidak lebih lama daripada gerimis sesaat, yang rela sirna jejaknya dihapus terik matahari. Setelah girang sejenak mengecap cinta yang naif, aku termangu murung di batu kali, mengenal rasa kesepian buat pertama kali. Sesudah itu, banyaklah nama yang datang dan pergi.
Keremajaanku tergerus dengan lekas oleh dunia nyata yang tak kenal ampun. Setamat sekolah menengah aku merambah Ibu Kota. Aku bahkan sempat lupa kepada sebatang sungai yang pernah kuakrabi. Mungkin karena yang kulihat tiap hari di Ibu Kota cuma kali-kali berlumpur dan berbau busuk.

Dulu aku suka berlama-lama memandang Cikapundung sambil duduk di batu, sedang Ibu tak jemu-jemu mengingatkan aku supaya tidak sembrono berenang. ”Awas, kamu jangan nyemplung sendirian!” kata beliau dalam Sunda yang mengalun merdu. Tidak pernah Ibu membentak, sekalipun tengah marah.
Kelembutan kasih sayang Ibu kemudian tergantikan dengan ekspresi dingin sekaligus temperamental kota-kota pada masa dewasaku. Tidak pernah aku tinggal lama di satu kota. Ibu Kota merupakan tempat aku menumpang hidup paling lama hingga akhirnya pulang ke tepi Cikapundung.

Waktu memiliki otoritas tak terbendung untuk mengubah segala hal, termasuk sungai kecintaanku. Ketika pertama kali memandang dia kembali, bermunculan potret-potret lama dari laci ingatan; wajah-wajah yang pernah kutaksir dan kucium dengan gugup di sini dan nama-nama yang kuukir di salah satu batang bambunya.

Sungai ini tampak asing sekarang. Aku tak menuntut dia sebening dulu, tetapi bahkan cokelat pun tidak! Hitam. Hitam pekat. Tak bisa lagi aku becermin di permukaannya: kesempatan untuk memain-mainkan mimik muka dan mengacak-acak rambut meniru rocker yang diam-diam kugandrungi. Di rumah aku tak berani, sebab Bapak mendidik aku dengan keras.

Dengarlah, wahai sungaiku. Bukan hanya engkau. Aku pun telah berubah. Setidaknya, aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah kaukenal. Bukan pula remaja tanggung yang canggung dalam gelora hasrat membuncah. Aku datang dengan punggung yang mulai bungkuk. Apa yang kubawa? Setumpuk cerita.
Lama menempuh jalan kehidupan, aku berhasil mengumpulkan tawa dan tangis dalam satu paket. Apa boleh buat, anak-anakku adalah anak-anak panah yang tidak sabaran, ingin buru-buru melesat dari busur. Seperti dulu kutinggalkan Ibu untuk mengembara, mereka pergi dan mengembalikan kesunyian ke ruang batinku secepat mereka tumbuh dewasa.

Si sulung dan si bungsu terbang ke negeri-negeri jauh. Kepergian ibu mereka tak lama kemudian menyempurnakan kesendirianku. Sejenak terbaring di ranjang rumah sakit, hidupnya pun rampung. Parasnya yang beku menyembulkan kekosongan yang aneh di dalam ruangan sehingga aku beringsut ke teras, memandang taman. Kemudian kulihat kupu-kupu kuning terbang sendirian menyinggahi tiga kuntum mawar. Mataku panas dan melembab. Setelah itu tidak pernah lagi aku menangisi kehilangan-kehilanganku, yang terdahulu dan yang kemudian.

Sehabis pukulan bertubi-tubi, kutengok dunia masa kecilku. Sungguh, aku tak terkejut mendapati sungaiku merana. Bukan hanya dia yang habis-habisan diperkosa manusia. Ciliwung, Cisadane, Citarum, serta seribu sungai lain hanya bisa melata lungkrah. Air jernih dibalas dengan limbah.
Wahai Cikapundung, inilah aku. Masih ingatkah engkau pada si ujang yang berlomba berenang dengan kawan-kawannya? Si ujang yang duduk seharian di bebatuan setelah cintanya ditolak si Euis yang punya lesung pipi? Dulu aku pergi tanpa pamit; kini aku datang menuntut penyambutan. Maafkan aku. Bisakah kita bersahabat kembali?

Mungkin persahabatan kita tidak bakal semesra dulu. Tidak bisa lagi aku berendam di dalam sejuk-jernih airmu. Bahkan kini aku menjaga jarak sebab engkau jorok dan bau bacin. Aku sendiri tak setangkas dan seceria dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.

Ah, tahukah engkau apa yang kuraih selama memintal benang kehidupanku? Kudapati cinta yang hebat, sekaligus rapuh; dan kini aku kembali sebagaimana aku didatangkan ke dunia. Semua yang ada pada diriku dilucuti kembali. Orang-orang tercinta terbang menjangkau takdir masing-masing. Selanjutnya, hanya surat-surat yang mengabarkan penghidupan mereka.

Tak pernah kuturuti permintaan mereka agar aku membeli telepon seluler atau belajar menggunakan internet. Untuk apa mengetik pada komputer? Sekadar surat-menyurat dapat kulakukan dengan pena dan kertas. Mereka bercerita tentang sistem komunikasi bernama Skype. Kata mereka, itu cara paling murah bagi komunikasi jarak jauh. Aku membalas surat-surat mereka sesekali saja. Kupikir, mereka bisa menelepon ke rumah kapan saja, asal tahu waktu supaya hemat.

Pukulan kedua datang segera setelah ingatanku pada kupu-kupu di taman rumah sakit memudar: dari Boston, tanggal 13 September 2001. Di ujung telepon kudengar suara putriku emosional. Dia katakan, suaminya sedang berada di salah satu menara kembar World Trade Center saat pesawat-pesawat gila itu menabrak sepasang gedung tersebut satu demi satu dua hari sebelumnya.

Anehnya, dia menolak pulang ketika kuminta. Aku sedih, lalu marah, namun perasaan itu tidak berguna. Maka aku pasrah dengan pilihan hidupnya dan mungkin pula situasi yang tidak bisa kupahami seutuhnya.
Sedangkan si bungsu jarang berkabar. Dia rupanya mewarisi jenis kehidupanku: tidak pernah menetap lama di satu tempat. Seperti juga aku, dia malas menulis surat. Hanya kartu-kartu bergambar yang dikirimkan. Dia tidak segigih kakaknya meminta aku agar menggunakan Skype. Terakhir ia menelepon dari India. ”Mohon restu Papa, saya mau ke Tibet,” katanya. Aneh, tidak biasanya ia meminta restu segala. Suaranya berat tiada nada riangnya. Ada apa?

”Tidak ada apa-apa. Cuma minta doa restu, besok saya berangkat ke Potala.”

Aku tidak bertanya apa yang dia cari di kota seperti itu. Apakah gerangan yang dicari seorang petualang? Dapatkah dirumuskan? Aku juga dulu begitu.

”Baiklah.”

Aku tidak bertanya kapankah dia akan pulang. Kukira, seorang pengembara baru akan pulang kalau dia merasa sudah waktunya pulang. Aku tak pernah bertanya bagaimana dia memenuhi kebutuhan pribadinya. Aku yakin dia dapat melakukan apa saja dengan keprigelan tangannya. Sejak kecil ia terampil melukis batik pada permukaan apa saja: kertas, kain, batu, kayu. Dia pernah mengirimkan foto dirinya diapit sepasang suami-istri Belgia di depan Angkor Wat. Dia bilang, mereka adalah pembeli scarf buatannya.

Saat gagang telepon kuletakkan, aku belum menyadari gaung yang lebih panjang dari sekadar permohonan restu. Hal itu baru terasa mendera batin setelah tahun demi tahun berlalu dan tak pernah ada kartu bergambar atau telepon lagi. Sekali waktu, ketika aku merindukan dia, emosiku meronta. Apa yang menelan dia? Apakah yang menimpa dia di negeri yang aneh itu? Apakah dia bertapa untuk menggapai moksa? Atau… ah, aku tidak berani meneruskan dugaan ke titik ekstrem. Dia masih muda. Akulah yang lebih pantas rampung lebih dulu. namun, mengapa sampai tak ada waktu untuk menelepon ayahnya?
Aku hanya bisa memasuki dunia kosong tanpa tangis yang sangat dalam sehingga diri hilang lenyap dari dunia artikulasi verbal. Aku baru tersadar ketika pundakku ditepuk-tepuk Ni Paimah si tukang masak. Dia bilang makan malam sudah siap. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, dia sudah terseok-seok kembali ke dapur.

Sebelum Desember berlalu, Ni Paimah dan suaminya kuberhentikan dan kujual rumah besar di Ibu Kota.
Rumah Ibu di tepi Cikapundung tak berkutik dijepit rumah-rumah yang semakin rapat mendesak memaksa. Gang menyempit. Tiada lagi tanah lapang dan rumpun bambu di bantaran sungai yang selalu mendesis jika angin membelai dedaunannya yang rimbun.

Di sinilah kini aku berdiri, di jembatan tua yang kikuk menanggapi perubahan zaman. Kurenungi permukaan gelap wajah yang lesu pada saat gerimis akhir bulan Desember menciumi tanpa suara.
Di sini akan kuhabiskan sisa usia sebab di sini ada sahabat setia yang kupercaya untuk menitipkan cerita-cerita. Seperti juga aku, dia sudah tua, tidak segemilang dulu. Tidak terdengar lagi gemercik arus yang riang spontan atau air yang jernih. Limbah manusia telah menodai kemurniannya yang naif. Cikapundung sungai yang dirundung murung.

Minggu, 21 April 2013

[curhat UN] Bapak PRESIDEN mengapa kami yang terhukum ...

UN.... hiii ujian nasional ....
ramai deh... Poety tadi pagi dengerin diskusi UN di radio Elshinta...
UN tahun ini berantakan... terus cetakannya buruk... terus banyak yang protes.. terus banyak yang stress, terus banyak yang bingung.. terus banyak yang panik..terus banyak yang takut...
lihat berita di TV.. ada kakak-kakan kelas 12 doa bersama menjelang UN... ada yang tahlillan bersama...
Ih serem banget beritanya......banyak kakak-kakak yang ketakutan.............

Terus Poety jadi bingung...kenapa ya kok serem banget.... terus buat apa kalau gitu?
Bapak Menteri...tolong dong jawab....buat apa UN ituuuuuu....bapak Presiden kok kami yang disiksa...

Tadi Poety nanya sama papa, "kalau disekolah banyak yang gagal UN, terus siapa yang salah?"

Bapak Presiden, kalau kami gagal UN...kenapa kami yang disalahin.... kenapa bapakkkkkk....
kami udah belajar...terus kami ga bisa jawab soal UN...terus apa itu berarti kami yang salah????

Kan kami udah belajar bapaaak...kami udah mati-matian belajar...
jangan-jangan gurunya yang salah... 
jangan-jangan sekolahnya yang salah...
jangan-jangan diknasnya yang salah...
jangan-jangan bapak menterinya yang salah...
jangan-jangan bapak presiden yang salah....

kami kan MASIH ANAK-ANAK... kami ga ngerti apa-apa... kami kan yang diajari ....

sekarang kami ANAK INDONESIA yang terhukum karena kesalahan bapak presiden......
kami yang TERHUKUM....KAMI YANG DIRUGIKAN...... 
kami yang stres... kami yang ketakutan.... kami yang menanggungnya....

Ini tidak adil...ini TIDAK ADIL bapak Presiden..... 
Iniiiiiii TIDAAAAAAK ADIL bapak Menteri....

Kami PROTES.....



Kamis, 11 April 2013

10 CEO dengan Gaji Tertinggi

Dapat berita ini liputan 6.com.... hmmm mungkin ga ya suatu saat nanti Poety atau Uda Fahmi atau Albert  berada dalam 10 besar ini.......tapi maunya gajinya yang buah saja yaa ga suka yang bunga.... 

Coba deh baca kutipan berita ini....

Dari 1.426 miliarder dengan catatan kekayaan bersih hingga menembus US$ 5,4 triliun, sebanyak 442 orang terkaya berasal dari Amerika Serikat (AS). Dan hampir 10% dari daftar konglomerat itu adalah CEO perusahaan publik di negara AS.
Walaupun rekening para miliarder sudah sesak dengan harta kekayaan, namun taipan-taipan ini juga mengantongi gaji serta bonus yang cukup tinggi.

Berikut 10 CEO dengan bayaran tertinggi di dunia seperti dikutip dari laman Forbes, Kamis (11/4/2013).  

1. Richard Kinder
Gaji : US$ 1,1 miliar
Kekayaan : US$ 9,8 miliar
Bos dari perusahaan yang bergerak di bidang energi, Kinder Morgan ini membayar dirinya hanya US$ 1 per tahun. Meski dia tidak pernah menerima bonus, saham, dan hibah saham dari perusahaan yang dipimpinnya, tapi Richard mampu meraup US$ 1,1 miliar di tahun lalu, sehingga mencatatkan dirinya sebagai CEO dengan bayaran tertinggi di Amerika Serikat (AS). Gaji tersebut dia peroleh dari keuntungan saham saat Kinder menjadi perusahaan publik pada 2006. 

2. Daniel S. Och
Gaji : US$ 289 juta
Kekayaan : US$ 2,9 miliar
CEO dari perusahaan hedge fund, Och Ziff Capital Management Group itu memperoleh US$ 288 juta dari saham vested (hak karyawan).

3. Howard Schultz
Gaji : US$ 118 juta
Kekayaan : US$ 1,7 miliar
Bos pemilik jaringan ritel, Starbucks ini mendapat gaji pokok US$ 1,5 juta dengan bonus mencapai US$ 2,3 miliar. Sebagian besar kompensasi tersebut berasal dari opsi saham dan US$ 10 juta dari saham vested.

4. Leslie Wexner
Gaji : US$ 58 juta
Kekayaan : US$ 4,6 miliar
Pemimpin The Limited Inc tersebut dibayar US$ 1,9 juta sebagai gaji, serta bonus US$ 4,9 juta. Dia mengatakan, total kompensasi dari opsi sahamnya mencapai US$ 32 juta dan saham vested sebesar US$ 18,7 juta.

5. Ralph Lauren
Gaji : US$ 39 juta
Kekayaan : US$ 6,9 miliar
Pengusaha fashion ini membayar diri sendiri dengan gaji US$ 1,2 juta dan bonus US$ 19,5 juta. Selain itu, dia melakukan eksekusi atas opsi saham senilai US$ 5,2 juta dan menerima US$ 12,4 juta saham vested.

6. Lawrence J. Ellison
Gaji : US$ 37 juta
Kekayaan : US$ 40 miliar
Pendiri Oracle tersebut memperoleh gaji sebesar US$ 1, namun untuk bonusnya sendiri sebanyak US$ 3,9 juta serta eksekusi saham opsi US$ 31,7 juta.

7. Henry R. Kravis
Gaji : US$ 35 juta
Kekayaan : US$ 4,5 miliar
Co CEO dari perusahaan ekuitas swasta, Kohlberg mengantongi gaji hanya US$ 300 ribu. Tapi mayoritas pendapatan berasal dari bunga dan bagian keuntungan saham yang telah disepakati perusahaan sebesar US$ 34,7 juta.  

8. George Roberts
Gaji : US$ 35 juta
Kekayaan : US$ 4,2 miliar
Roberts merupakan bagian dari salah satu direksi di Kohlberg milik Henry R Kravis. Dia memboyong gaji pokok US$ 300 ribu dan bunga senilai US$ 37,4 juta.

9. Rupert Murdoch
Gaji : US$ 23 juta
Kekayaan : US$ 11,9 miliar.
Penguasa jaringan media ini mengkombinasikan antara gaji, bonus dan saham vested dengan masing-masing senilai US$ 8,1 juta, US$ 10,4 juta dan US$ 4,1 juta.

10. Frederick Smith
Gaji : US$ 22 juta
Kekayaan : US$ 1,8 miliar
CEO perusahaan logistik, FedEx tersebut mendapatkan gaji US$ 1,2 juta dan bonus US$ 1,3 juta. Upah insentif senilai US$ 5,2 juta dalam jangka panjang terkait kinerja perusahaan, serta opsi saham mencapai US$ 13,2 juta

Kamis, 14 Maret 2013

jam karet bukan budaya kita...

Hai... apa kabar sahabat...
Poety udah lama ga ngeblog... sekarang kangen nulis lagi... 

Tadi pagi waktu berangkat sekolah.. seperti biasa poety bareng papa berangkat kerja.. 
pagi ini kami berangkat lebih pagi karena papa ada kelas mengajar jam 8...
Poety sangat ngerti kalau papa gak suka mulai kelasnya terlambat... jadi karena perjalanan dari rumah ke ITech sering macet dipagi hari, papa mesti berangkat lebih pagi... 
Papa bilang kalau pagi hari, papa rata-rata butuh waktu 1-2  jam ke kampus.. kalau jalannya lagi lancar bisa satu jam... tapi kalau macet parah bisa habis 2,5 bahkan sampai 3 jam...

Poety pernah nanya ke papa...
"kenapa papa mesti berangkat lebih pagi...kan kalau sekali-sekali telat ga apa-apa...paling mahasiswa papa juga ngertiin kalau rumah kita jauh..."
"ga boleh begitu...itu namanya mengajari mahasiswa tidak disiplin..." balas papa... terus papa bilang lagi.. 
"poety tahu ga... kalau salah satu penyakit yang sering dituduhkan ke bangsa kita...orang Indonesia tu punya budaya jam karet... menyepelekan waktu...., nah papa ingin budaya jam karet itu tidak lagi jadi budaya...tapi cukuplah jadi catatan masa lalu saja..."

Poety bingung...perasaan disekolah poety juga diajarin untuk masuk kelas tepat waktu...guru-guru poety juga selalu sudah siap di kelas setiap pagi... kayaknya juga disekolah lain juga gitu.. kalau telat pastinya kena hukum... gitu juga cerita Uda Fahmi...di sekolah uda kalau muridnya datang telat, pasti dihukum lari mengelilingi lapangan atau jalan jongkok atau push-up dan lain-lain..bahkan kalau 3 hari telat berturut-turut orang tua dipanggil ke sekolah... 

Jadi masak iya sih bangsa kita punya budaya jam karet? kan udah diajari disiplin waktu sejak SD sampai SMA... 

Poety jadi pengen nanya lagi sama papa... 

Nanti ya kalau papa udah pulang.... 

...