kilauan zamrud membelah mega..............


Selasa, 01 April 2014

Hari pertama di sekolah... (cerita)



            Dita melangkah ragu ke dalam kelas itu. Ibunya masih berbincang-bincang bersama ibu-ibu lainnya. Di dalam kelas tampak beberapa anak bermain. Ia gelisah. Dita ingin langsung masuk. Namun, ibunya kelihatan masih asyik mengobrol. Ia pun menarik tangan ibunya.
            “Ayo Bu...., Dita ingin masuk kelas baru Dita, “ paksa Dita hingga ibunya mengiyakan. Dita langsung masuk kelas. Kelas barunya tampak begitu ramai. Ia pun mencari mejanya. Setelah menemukan meja di posisi yang menurutnya tepat, Dita memasukkan buku-bukunya ke dalam laci mejanya. Barang-barang yang lainnya juga dimasukkan ke dalam laci mejanya dan dirapikan seperti bukunya.
            Bel sekolahnya berbunyi. Ibunya pun pulang. Dita melihat wanita kira-kira berumur dua puluh tahunan. Wanita itu membawa beberapa buku pelajaran yang sama seperti dipunyainya dan beberapa file serta sebuah tempat pensil berwarna cokelat.
            “Pagi anak-anak!” sapa wanita itu riang sambil menaruh bukunya di meja guru. Wanita itu berjalan ke depan kelas yang indah itu.
            “Saya adalah wali kelas kalian di sini. Nama saya Bu Tina. Kalian akan belajar bersama saya di kelas baru ini. Sekarang, karena hari pertama, kita mulai berkenalan. Siapa yang mau maju ke depan?” tanya Bu Tina tersenyum. Ada beberapa anak yang mengacungkan tangan, termasuk Dita.
            “Ya, kamu!” tunjuk Bu Tina kepada anak laki-laki gendut yang berkacamata. Anak itu maju ke depan dengan penuh percaya diri. Beberapa anak tertawa cekikikan melihat gayanya yang menjadi agak culun.
            “Hai teman-teman semua! Nama saya adalah Gagas Pramulya Wintoroto. Dipanggil Gagas. Hobi saya adalah menulis. Saya berasal dari Jakarta. Dulu saya bersekolah di International Cruise Kindergarten School. Rumah saya berada di perumahan Melati Putih Jalan Bougenville Raya Blok J7 nomor 6. Umur saya 5 tahun, “ Gagas memperkenalkan diri. Setelah itu, Gagas duduk kembali.
            “Terima kasih Gagas. Sekarang kamu!” tunjuk Bu Tina pada Dita. Dita pun maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri.
            “Hai semua! Nama saya Ninda Dita Putri. Biasa dipanggil Dita. Hobi saya bermain sepakbola dan hiking. Rumah saya di kompleks Kembang Biru Jalan Merpati Raya Blok H4 nomor 1. Saya berasal dari Jakarta dan dulu bersekolah di International Moon Kindergarten School. Senang bertemu kalian!” Dita memperkenalkan diri dengan tampilan yang berwibawa.
            “Terima kasih Dita,” ucap Bu Tina lembut. Dita pun kembali ke tempat duduknya. Teman sebangkunya mengacungkan jari.
            “Ya! Perkenalkan dirimu, nak!” pinta Bu Tina. Anak itu maju ke depan kelas dengan anggun.
            “Selamat pagi semuanya! Namaku adalah Himayana Pramono Kusuma. Panggilnya Maya. Membaca adalah hobi saya yang paling saya gemari. Selain itu, saya juga suka menari. Rumah saya di Kompleks Kembang Biru Jalan Merpati Raya Blok H4 nomor 3. Saya berasal dari Jakarta. Dulu saya bersekolah di International Pretty Kindergarten School,” Maya memperkenalkan diri dengan mimik wajah yang biasa sekali. Lalu, banyak anak yang memperkenalkanan diri. Ada Salsa, Mira, Budi, Oscar, Citra, dan Peter. Setelah perkenalan, Bu Tina menyuruh anak-anak menggambar binatang di kertas dan mewarnainya memakai pensil warna. Dita pun menggambar bersama yang lainnya. Dita dan Citra yang jago menggambar, menggambar beberapa hewan langka di Indonesia. Maya menggambar dua kelinci putih yang memakan wortel. Salsa, Mira, dan Oscar yang lucu, menggambar orang utan sebisa mereka sehingga gambar mereka terlihat sangat lucu. Budi, Peter, dan Tio yang santai, menggambar lumba-lumba yang loncat melewati lingkaran atraksi. Anak-anak lain juga menggambar sebisa dan sebagus mereka buat.
            Setelah menggambar, gambar anak-anak di kumpulkan untuk ditempel sebgai kreasi dalam kelas.  Bel pun berbunyi. Anak-anak langsuk berlarian bermain ke luar. Dita, Maya, Tio, dan beberapa teman lainnya memakan bekal yang dibawakan oleh ibu mereka masing-masing.
            “Halo! Boleh ikutan makan, tidak?” tanya Maya dan Tio pada Dita. Dita tersenyum dan mengangguk pada kedua teman barunya.
            “Kamu makan apa?” tanya Dita pada Maya dan Tio yang sedang mengambil kotak makanan mereka.
            “Aku makan udang goreng tepung yang krispi dan dilumuri mayones serta saus. Aku juga makan pakai nasi putih dan sayur sop yang masih hangat. Minumannya limun segar favoritku! Kalau kamu?” jawab Maya sekaligus bertanya pada Tio.
            “Aku makan nasi putih. Lauk pauknya adalah sosis berbentuk bunga dan sayurnya sop juga. Minumanku jeruk hangat buatan ibuku. Kalau kamu Dita, makan apa?” tanya Tio setelah menjawab pertanyaan Maya dan Dita.
            “Aku nasi goreng pakai telur ceplok dan minumannya air putih biasa,” jawab Dita sambil menunjukkan bekalnya yang masih hangat. Mereka pun makan. Setelah makan, mereka bermain petak umpet bersama Oscar dan Mira yang juga habis makan.
            “Tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh!” hitung Maya. Maya lalu mencari teman-temannya. Maya menemukan Tio dan Oscar yang bersembunyi di kolong meja guru. Sekarang, ia mencari Dita dan Mira. Ia menemukan Mira di balik lemari. Sekarang Dita. Di mana Dita, yaaa?
            “Hong Dita !!!” seru Dita keras menyebut namanya dan memukulkan tangannya di dinding tempat Maya tadi menutup mata dan menghitung.
            Kring! Kring!Kring!!!!!!!!!!!!!!!
            Bel istirahat usai, berdering. Anak-anak langsung kembali ke kelasnya masing-masing. Bu Tina masuk kembali sambil membawa banyak kertas kecil.
            “Anak-anak, sekarang kita akan memilih ketua kelas kita. Apakah ada yang mau mencalonkan diri?”tanya Bu Tina tegas. Akhirnya, karena tidak ada yang mau mencalonkan diri, Bu Tina memilih calonnya. Ada Salsa, Lisa, Rumi, dan Peter. Salsa maju dengan gugup ke depan bersama tiga calon ketua kelas lainnya. Para calon menjelaskan apa yang mereka lakukan jika mereka terpilih.
            “Calon yang mau kalian pilih, harus kalian tulis di kertas ini. Kita memilih melalui voting atau pemungutan suara,” perintah Bu Tina sambil membagi-bagikan kertas kecil. Anak-anak pun langsung menulis pilihan mereka.
            Setelah menulis, anak-anak menggulung kertas itu dan memasukkan ke dalam boks kecil berwarna putih. Bu Tina menunjuk Dita untuk menghitung suara dan Maya untuk menulis suara. Dita pun membaca. Hingga akhirnya Salsa yang terpilih menjadi ketua. Peter menjadi wakil. Lisa menjadi sekretaris dan Rumi menjadi bendahara. Salsa merasa senang sekali.
            “Sekarang kita akan melakukan kegiatan terakhir kita di hari pertama yang menyenangkan ini! Kita akan mengelilingi sekolah kita yang luas ini dan kita tidak akan diganggu kelas lain!!!” seru BuTina riang. Anak-anak spontan berseru senang sekali hingga akhirnya Bu Tina menenangkan.
            Mereka pun mulai dari gedung sekolah mereka yang besar dan tinggi.
            “Ini adalah kelas level 1, 2, dan 3. Satu level berisi tiga kelas, A, B, dan C. Lalu, di lantai dasar ini juga ada kamar mandi, ruang guru (kelas 1, 2, 3), ruang kepsek (ruang kepala sekolah), dan ruang TU atau disebut tata usaha. Kita lihat guru-guru yang ada di dalam, yaaa,“ Bu Tina pun menuntun anak-anak masuk ke dalam ruang guru.
            “Ini adalah Bu Gita, wali kelas 1B. Ini Bu Sabrina, wali kelas 1C. Ini Pak Tiko, wali kelas 2A. Pak Boro, wali kelas 2B. Bu Darmono, wali kelas 2C. Ini Bu Emi, wali kelas 3A. Pak Lomi, wali kelas 3B. Bu Setiani, wali kelas 3C. Bu Gita akan menjadi guru matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia. Bu Sabrina akan menjadi guru olahraga, kesenian, dan Bahasa Inggris.                

                                                           bersambung
                     

Rabu, 26 Maret 2014

Ibu Kota dan Wibawanya (komentar Pakde Borsma dan Pakde Bowo)

ternyata tulisan om Asikin ini dibahas oleh teman-teman papa sesama alumni VM ITB...  berikut adalah komentar Pakde Boersma dan Pakde Bowo.... semua Poety dapat di komputer papa... 
-----------------------------------------------------------------------------
dari Pakde Boersma Ibrahim   

Asikin,
 
aku selalu menghayal mengenai Indonesia ditata dengan baik.. ohh alangkah Indahnya. begitu banyak pantai di Indonesia bisa diciptakan menjadi tempat berrekreasi. Cuaca sangat menunjang. tidak seperti di negara 4 musim. kalau sudah kedinginan mengidam idamkan datangnya matahari, begitu datang hangatnya matahari semua orang bersuka ria, begitu musim dingin muka pada manyun dengan posisi tangan bersidekap.. musim panas 3 bulan terdiri dari, hujan 50%, terang 25%, berawan 25%. nah cuma berapa hari ada matahari ?? jadi seharusnya di Indonesia menikmati keindahan cuaca ya..
Tapi.........hampir semua panca Indra mengatakan tidak...
Penciuman....... bau sampah dan pesing kalau di Bekasi..
Penglihatan..... amburadul di Jakarta..... langit kotor... jalan tumpah ruah segala macam kendaraan.. tidak ada taman kota yang ditata bagus, kalaupun ada banyak tukang baso,es, dll mangkal..
Pendengaran... bising..kali banyaknya manusia. kecuali di Hotel besar ya...
Perasa (Mulut).. kali ini yang masih berlaku, tapi..... daging sekilo jauh lebih mahal dari US. harga mangga sama mahalnya di US, jengkol dan pete sempat menghilang. mudah mudahan diluar Jakarta masih jauh lebih murah ya.
Indera satu aku lupa.... he.. he..
 
Aku setuju dengan pendapatmu... hidup juga mengingkan keindahan bukan hanya perut kenyang. mata perlu sekali dimanjakan dengan keindahan, sehingga pikiran kita selalu segar... nah kalau kota, rumah, jalan, kendaraan tidak mempunyai seni gimana... hambar melihatnya.  Kotanya amburadul, jalannya sumpek campur aduk mobil, motor , rumah tidak mempunyai seni bangunan. wah... butek juga otak....
 
Jadi seni iitu penting....insinyur mobil tidak didampingi oleh designer.. mobilnya mirip kaleng kerupuk jalan... rumah enggak ada seni bisa mirip... gudang beras...
Jadi seni itu penting sekali, ini yang hilang dari masyarakat kita karena  mengutamakan yang lainnya dulu sehingga ibu kota kita terlihat amburadul...
maaf friends aku mengatakan seperti ini bukan karena aku tidak di Jakarta.. Jakarta sudah kehilangan seni setelah ditinggal oleh Bung Karno..pendapatmu Asikin betuullll sekali..
bandung tempo dulu Indah sekali. rumah rumah tertata dengan baik dan bunga bunga tumbuh di pekarangan.. udara sejuk.. kali sudah berubah juga ya...
 
Indonesia tidak punya seni...... ooo tidak...lihat bali.. lihat borobudur, Prambanan...
Cuma banyak orang yang tidak mau memikirkan seni lagi....
Semua teman yang wisata ke Eropa, US, Canada.. pasti takjub melihat bagamana seni membangun kota... ada taman Kota, ada Museum, Bangunan bangunan yang indah dan berseni....
Jadi Asikin selalu taburkan keahlian senimu  kemasyarakat kita termasuk aku dan Villmers lainnya  lho...aku sendiri hanya penikmat seni bukan seniman.
lain kali disambung ceritanya ya... aku lagi santai tadi... jadi sempat buat support tulisanmu...
 
salam hangat.
 
---------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Pakde Bowo
 
Akupun juga suka menghayal,
Kapan penduduk jakarta ini punya kebiasaan antri, mendahulukan orang lain.
Kapan penduduk jakarta ini punya kebiasaan, berbicara dengan baik, menyapa satu sama lain.

Sehingga hidup ini terasa, nyaman, aman dan tenteram, terhindar dari prasangka buruk, kekuatiran dan kecemasan.

Terhindar dari perbuatan perbuatan yang tidak baik, terutama seperti mengambil yang bukan haknya..

kebetualan aku kebangun.
Baca tulisan Boersma,
Tulisan seperti itu justru aku rindukan, agar kita tahu kita ada dimana.
Tidak seperti sekarang ini seolah kita sendiri merasa bingung, ibarat " arep mlebu metu endi ".
 
salam
 

Ibu Kota dan Wibawanya

Hari ini Poety ngenet pakai komputer papa... dan poety dapat tulisan ini di komputer papa..
tulisan dari om Asikin Hasan, teman papa di Villa Merah ITB... yuuuk kita baca.....
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ibu Kota dan Wibawanya

Asikin Hasan  (kurator galeri lontar) 
 
Di Washington, D.C., layar iklan produk industri dilarang mengisi ruang-ruang publik. Bahkan baliho berisi foto presiden dan anggota legislatif, apalagi pendakwah agama, tak punya tempat barang secuil pun. Ruang publik adalah milik publik yang harus bersih dari kepentingan kaum saudagar, propaganda para politikus, organisasi massa, dan kelompok tertentu. Foto-foto presiden Amerika hanya bisa kita temukan dalam bentuk kartu pos, dan produk ekonomi kreatif lainnya di dalam toko-toko seni rupa, ditempatkan setara dengan foto-foto Marylin Monroe atau Elvis Presley, simbol budaya pop Amerika era 60-an.


Ibu kota itu tergambar sebagai lahan terbuka, hutan kota yang lebat, taman-taman dengan banyak kursi tempat warga mengaso sejenak, atau menikmati keindahan dan kenyamanan lingkungan sekitarnya. Pemandangan dominan pada ibu kota itu adalah puluhan museum, monumen, patung para pendiri Amerika, dan tokoh pejuang kemanusiaan. Semua menunjukkan sikap dan cara warga Amerika mendudukkan wibawa dan kehormatan ibu kota mereka.


Pada 16 Mei 1956, ketika pertama kali Presiden RI Sukarno melihat Monumen Washington dan kawasan terintegrasi di sekitarnya, ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Ia menaruh perhatian begitu penting pada monumen, tempat di mana orang akan selalu mengenang hal berharga dalam kehidupan berbangsa. Monumen serupa itu, menurut Bung Karno, hanya bisa dibangun oleh mereka yang bermental patriot komplet. Istilah itu menunjuk pada semangat totalitas bahwa setelah merdeka, pembangunan bangsa tak cukup hanya dari segi pangan dan papan semata, tapi juga dalam seni-budaya. Pembangunan ruang publik dan elemen di atasnya adalah seni budaya itu sendiri.


Dalam perjalanan 50 hari di Eropa dan Amerika itu, Sukarno terinspirasi mendirikan Monumen Nasional (Monas) dan taman kota. Menurut dia, selain kebanggaan, rakyat berhak mendapatkan pemandangan yang menyehatkan bagi matanya, sebagaimana mereka juga berhak berjalan kaki dengan nyaman dan aman di atas trotoar. Di tengah krisis ekonomi dengan inflasi hingga 650 persen ketika itu, Bung Karno seolah melawan teori Abraham Maslow soal jenjang kebutuhan dasar manusia. Bagi Bung Karno, kebutuhan manusia akan seni dan budaya setara dengan kebutuhan dasar lainnya. Keyakinan itulah yang dipegangnya untuk membangun ruang-ruang publik dan proyek yang kita kenal sebagai "mercusuar", membangun apa yang ia sebut sebagai monumen trimatra yang dapat dilihat seribu tahun ke depan.


Sayang Sukarno terlalu cepat pergi, sebelum semua cita-citanya terwujud. Rezim baru yang menggantikannya segera mengalihkan proyek ideal itu ke pembangunan ekonomi dan industri semata, sekaligus keberpihakan pada layar iklan. Kritik Srihadi Sudarsono dalam lukisannya tentang Jakarta yang penuh layar iklan produk Jepang di era 1970-an adalah sebuah tanda awal wibawa Ibu Kota Jakarta telah kandas dilantak kuasa modal dan kepentingan industri. Lukisan itu membuat marah Gubernur DKI Ali Sadikin dengan mencoret lukisan tersebut-belakangan ia meminta maaf kepada pelukisnya.


Celakanya, wajah ibu kota tak hanya dipenuhi layar iklan pelbagai produk industri. Baliho raksasa foto presiden, menteri kabinet, bersaing dengan foto-foto besar pendakwah agama, calon anggota legislatif, dan bendera-bendera partai politik. Pernahkah mereka yang memasang gambar tersebut mengevaluasi sekali saja; apakah publik senang atau justru muak dengan citra yang ditampilkan semena-mena itu?


Sesungguhnya konsep campuran pada pengembangan Kota Jakarta adalah salah satu pintu dari buruk rupa ini. Memang konsep campuran memudahkan kita untuk mendapatkan pelbagai kebutuhan sehari-hari. Tapi ia justru menjadi sumber kekacauan tata ruang itu sendiri, seperti tecermin pada layar iklan yang menguasai seantero kota. Pemerintah DKI akhirnya menempatkan diri seperti polisi lalu lintas. Penertiban Pasar Tanah Abang yang monumental, tak diikuti dengan kawasan lainnya. Jalan-jalan lebar di kawasan Kemayoran yang menjadi pasar dadakan sempat ditertibkan sesaat, kini kembali seperti semula. Pada malam hari kawasan itu berubah menjadi pasar liar yang konon dibekingi aparat, preman, dan ormas tertentu.


Sistem campuran yang membiarkan kota tumbuh mengikuti keinginan bebas pelbagai kelompok, dan berujung pada kekacauan, berbeda dengan National Capitol Park System, rancangan yang mendasari hidup Kota Washington, D.C., yang terasa konservatif demi menjaga wibawa ibu kota. Kendati sudah puluhan presiden Amerika silih berganti, Washington tetap seperti sediakala; menyerupai sebuah taman yang tak hanya indah, nyaman, tapi juga ruang bagi publik untuk belajar. Di dalam kota itu telah disiapkan puluhan museum seni rupa dan ilmu pengetahuan, monumen sejarah, dan perpustakaan yang dapat diakses publik seluas-luasnya. Kurang-lebih seperti Washington, D.C. itulah ibu kota Jakarta yang pernah dibayangkan oleh Bung Karno. *