Hari ini Poety ngenet pakai komputer papa... dan poety dapat tulisan ini di komputer papa..
tulisan dari om Asikin Hasan, teman papa di Villa Merah ITB... yuuuk kita baca.....
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ibu Kota dan Wibawanya
Asikin Hasan (kurator galeri lontar)
Di Washington, D.C., layar iklan produk industri dilarang mengisi
ruang-ruang publik. Bahkan baliho berisi foto presiden dan anggota
legislatif, apalagi pendakwah agama, tak punya tempat barang secuil pun.
Ruang publik adalah milik publik yang harus bersih dari kepentingan
kaum saudagar, propaganda para politikus, organisasi massa, dan kelompok
tertentu. Foto-foto presiden Amerika hanya bisa kita temukan dalam
bentuk kartu pos, dan produk ekonomi kreatif lainnya di dalam toko-toko
seni rupa, ditempatkan setara dengan foto-foto Marylin Monroe atau
Elvis Presley, simbol budaya pop Amerika era 60-an.
Ibu kota itu tergambar sebagai lahan terbuka, hutan kota yang
lebat, taman-taman dengan banyak kursi tempat warga mengaso sejenak,
atau menikmati keindahan dan kenyamanan lingkungan sekitarnya.
Pemandangan dominan pada ibu kota itu adalah puluhan museum, monumen,
patung para pendiri Amerika, dan tokoh pejuang kemanusiaan. Semua
menunjukkan sikap dan cara warga Amerika mendudukkan wibawa dan
kehormatan ibu kota mereka.
Pada 16 Mei 1956, ketika pertama kali Presiden RI Sukarno melihat
Monumen Washington dan kawasan terintegrasi di sekitarnya, ia tak dapat
menyembunyikan kekagumannya. Ia menaruh perhatian begitu penting pada
monumen, tempat di mana orang akan selalu mengenang hal berharga dalam
kehidupan berbangsa. Monumen serupa itu, menurut Bung Karno, hanya bisa
dibangun oleh mereka yang bermental patriot komplet. Istilah itu
menunjuk pada semangat totalitas bahwa setelah merdeka, pembangunan
bangsa tak cukup hanya dari segi pangan dan papan semata, tapi juga
dalam seni-budaya. Pembangunan ruang publik dan elemen di atasnya adalah
seni budaya itu sendiri.
Dalam perjalanan 50 hari di Eropa dan Amerika itu, Sukarno
terinspirasi mendirikan Monumen Nasional (Monas) dan taman kota. Menurut
dia, selain kebanggaan, rakyat berhak mendapatkan pemandangan yang
menyehatkan bagi matanya, sebagaimana mereka juga berhak berjalan kaki
dengan nyaman dan aman di atas trotoar. Di tengah krisis ekonomi dengan
inflasi hingga 650 persen ketika itu, Bung Karno seolah melawan teori
Abraham Maslow soal jenjang kebutuhan dasar manusia. Bagi Bung Karno,
kebutuhan manusia akan seni dan budaya setara dengan kebutuhan dasar
lainnya. Keyakinan itulah yang dipegangnya untuk membangun ruang-ruang
publik dan proyek yang kita kenal sebagai "mercusuar", membangun apa
yang ia sebut sebagai monumen trimatra yang dapat dilihat seribu tahun
ke depan.
Sayang Sukarno terlalu cepat pergi, sebelum semua cita-citanya
terwujud. Rezim baru yang menggantikannya segera mengalihkan proyek
ideal itu ke pembangunan ekonomi dan industri semata, sekaligus
keberpihakan pada layar iklan. Kritik Srihadi Sudarsono dalam lukisannya
tentang Jakarta yang penuh layar iklan produk Jepang di era 1970-an
adalah sebuah tanda awal wibawa Ibu Kota Jakarta telah kandas dilantak
kuasa modal dan kepentingan industri. Lukisan itu membuat marah Gubernur
DKI Ali Sadikin dengan mencoret lukisan tersebut-belakangan ia meminta
maaf kepada pelukisnya.
Celakanya, wajah ibu kota tak hanya dipenuhi layar iklan pelbagai
produk industri. Baliho raksasa foto presiden, menteri kabinet,
bersaing dengan foto-foto besar pendakwah agama, calon anggota
legislatif, dan bendera-bendera partai politik. Pernahkah mereka yang
memasang gambar tersebut mengevaluasi sekali saja; apakah publik
senang atau justru muak dengan citra yang ditampilkan semena-mena itu?
Sesungguhnya konsep campuran pada pengembangan Kota Jakarta
adalah salah satu pintu dari buruk rupa ini. Memang konsep campuran
memudahkan kita untuk mendapatkan pelbagai kebutuhan sehari-hari. Tapi
ia justru menjadi sumber kekacauan tata ruang itu sendiri, seperti
tecermin pada layar iklan yang menguasai seantero kota. Pemerintah DKI
akhirnya menempatkan diri seperti polisi lalu lintas. Penertiban Pasar
Tanah Abang yang monumental, tak diikuti dengan kawasan lainnya.
Jalan-jalan lebar di kawasan Kemayoran yang menjadi pasar dadakan
sempat ditertibkan sesaat, kini kembali seperti semula. Pada malam hari
kawasan itu berubah menjadi pasar liar yang konon dibekingi aparat,
preman, dan ormas tertentu.
Sistem campuran yang membiarkan kota tumbuh mengikuti keinginan
bebas pelbagai kelompok, dan berujung pada kekacauan, berbeda dengan
National Capitol Park System, rancangan yang mendasari hidup Kota
Washington, D.C., yang terasa konservatif demi menjaga wibawa ibu kota.
Kendati sudah puluhan presiden Amerika silih berganti, Washington tetap
seperti sediakala; menyerupai sebuah taman yang tak hanya indah, nyaman,
tapi juga ruang bagi publik untuk belajar. Di dalam kota itu telah
disiapkan puluhan museum seni rupa dan ilmu pengetahuan, monumen
sejarah, dan perpustakaan yang dapat diakses publik seluas-luasnya.
Kurang-lebih seperti Washington, D.C. itulah ibu kota Jakarta yang
pernah dibayangkan oleh Bung Karno. *
kilauan zamrud membelah mega..............
Rabu, 26 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar