Poety baca cerpen karya Om Kurnia .Terbit di Kompas, 9 Juni 2013. Sebenarnya Poety ga gitu ngerti.. cuma senang saja kalau baca tulisannya Om Kurnia, mungkin karena dia teman papa kali ya
Ratapan ini serasa hingar tetapi sebenarnya begitu sayup.
Ratapan ini serasa hingar tetapi sebenarnya begitu sayup.
Di atas jembatan kecil aku berdiri, setengah bersandar ke pagarnya
yang rendah, diam memandang aliran lemah Cikapundung. Apa yang dia
katakan? Tidak ada. Aku malah melihat sesobek hatiku melayang ke
permukaannya. Cabikan yang meninggalkan luka sayatan merah dan segaris
darah. Terapung merah di atas hitam.
Orang-orang lalu-lalang tanpa melirik sungai yang malas dan mesum.
Dulu kukenal ia cantik memikat, meliuk-liuk genit bagai gadis remaja.
Pada pagi hari ketika bola emas memanjat langit dengan cahaya pertama
yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinarnya sehingga
jutaan berlian berpendaran di permukaannya.
Sekarang apa? Bagai naga setengah lumpuh, dia hanya dapat merayap
seraya meratap, sedang kota terus tumbuh, dipadati manusia. Dia
kehilangan rumpun bambu dan anak-anak, celoteh perawan dan ibu-ibu yang
mandi atau mencuci baju.
Sebagian kisah cintaku terekam di sini. Mungkin dia mengulum senyum
maklum saat menyaksikan aku untuk pertama kalinya merayu seorang gadis
teman sekolah dengan sikap waspada karena khawatir tertangkap basah
orang-orang yang berjalan ke sawah.
Cinta monyet memang aneh. Tidak lebih lama daripada gerimis sesaat,
yang rela sirna jejaknya dihapus terik matahari. Setelah girang sejenak
mengecap cinta yang naif, aku termangu murung di batu kali, mengenal
rasa kesepian buat pertama kali. Sesudah itu, banyaklah nama yang datang
dan pergi.
Keremajaanku tergerus dengan lekas oleh dunia nyata yang tak kenal
ampun. Setamat sekolah menengah aku merambah Ibu Kota. Aku bahkan sempat
lupa kepada sebatang sungai yang pernah kuakrabi. Mungkin karena yang
kulihat tiap hari di Ibu Kota cuma kali-kali berlumpur dan berbau busuk.
Dulu aku suka berlama-lama memandang Cikapundung sambil duduk di
batu, sedang Ibu tak jemu-jemu mengingatkan aku supaya tidak sembrono
berenang. ”Awas, kamu jangan nyemplung sendirian!” kata beliau dalam
Sunda yang mengalun merdu. Tidak pernah Ibu membentak, sekalipun tengah
marah.
Kelembutan kasih sayang Ibu kemudian tergantikan dengan ekspresi
dingin sekaligus temperamental kota-kota pada masa dewasaku. Tidak
pernah aku tinggal lama di satu kota. Ibu Kota merupakan tempat aku
menumpang hidup paling lama hingga akhirnya pulang ke tepi Cikapundung.
Waktu memiliki otoritas tak terbendung untuk mengubah segala hal,
termasuk sungai kecintaanku. Ketika pertama kali memandang dia kembali,
bermunculan potret-potret lama dari laci ingatan; wajah-wajah yang
pernah kutaksir dan kucium dengan gugup di sini dan nama-nama yang
kuukir di salah satu batang bambunya.
Sungai ini tampak asing sekarang. Aku tak menuntut dia sebening dulu,
tetapi bahkan cokelat pun tidak! Hitam. Hitam pekat. Tak bisa lagi aku
becermin di permukaannya: kesempatan untuk memain-mainkan mimik muka dan
mengacak-acak rambut meniru rocker yang diam-diam kugandrungi. Di rumah
aku tak berani, sebab Bapak mendidik aku dengan keras.
Dengarlah, wahai sungaiku. Bukan hanya engkau. Aku pun telah berubah.
Setidaknya, aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah kaukenal. Bukan pula
remaja tanggung yang canggung dalam gelora hasrat membuncah. Aku datang
dengan punggung yang mulai bungkuk. Apa yang kubawa? Setumpuk cerita.
Lama menempuh jalan kehidupan, aku berhasil mengumpulkan tawa dan
tangis dalam satu paket. Apa boleh buat, anak-anakku adalah anak-anak
panah yang tidak sabaran, ingin buru-buru melesat dari busur. Seperti
dulu kutinggalkan Ibu untuk mengembara, mereka pergi dan mengembalikan
kesunyian ke ruang batinku secepat mereka tumbuh dewasa.
Si sulung dan si bungsu terbang ke negeri-negeri jauh. Kepergian ibu
mereka tak lama kemudian menyempurnakan kesendirianku. Sejenak terbaring
di ranjang rumah sakit, hidupnya pun rampung. Parasnya yang beku
menyembulkan kekosongan yang aneh di dalam ruangan sehingga aku
beringsut ke teras, memandang taman. Kemudian kulihat kupu-kupu kuning
terbang sendirian menyinggahi tiga kuntum mawar. Mataku panas dan
melembab. Setelah itu tidak pernah lagi aku menangisi
kehilangan-kehilanganku, yang terdahulu dan yang kemudian.
Sehabis pukulan bertubi-tubi, kutengok dunia masa kecilku. Sungguh,
aku tak terkejut mendapati sungaiku merana. Bukan hanya dia yang
habis-habisan diperkosa manusia. Ciliwung, Cisadane, Citarum, serta
seribu sungai lain hanya bisa melata lungkrah. Air jernih dibalas dengan
limbah.
Wahai Cikapundung, inilah aku. Masih ingatkah engkau pada si ujang
yang berlomba berenang dengan kawan-kawannya? Si ujang yang duduk
seharian di bebatuan setelah cintanya ditolak si Euis yang punya lesung
pipi? Dulu aku pergi tanpa pamit; kini aku datang menuntut penyambutan.
Maafkan aku. Bisakah kita bersahabat kembali?
Mungkin persahabatan kita tidak bakal semesra dulu. Tidak bisa lagi
aku berendam di dalam sejuk-jernih airmu. Bahkan kini aku menjaga jarak
sebab engkau jorok dan bau bacin. Aku sendiri tak setangkas dan seceria
dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.
Ah, tahukah engkau apa yang kuraih selama memintal benang
kehidupanku? Kudapati cinta yang hebat, sekaligus rapuh; dan kini aku
kembali sebagaimana aku didatangkan ke dunia. Semua yang ada pada diriku
dilucuti kembali. Orang-orang tercinta terbang menjangkau takdir
masing-masing. Selanjutnya, hanya surat-surat yang mengabarkan
penghidupan mereka.
Tak pernah kuturuti permintaan mereka agar aku membeli telepon
seluler atau belajar menggunakan internet. Untuk apa mengetik pada
komputer? Sekadar surat-menyurat dapat kulakukan dengan pena dan kertas.
Mereka bercerita tentang sistem komunikasi bernama Skype. Kata mereka,
itu cara paling murah bagi komunikasi jarak jauh. Aku membalas
surat-surat mereka sesekali saja. Kupikir, mereka bisa menelepon ke
rumah kapan saja, asal tahu waktu supaya hemat.
Pukulan kedua datang segera setelah ingatanku pada kupu-kupu di taman
rumah sakit memudar: dari Boston, tanggal 13 September 2001. Di ujung
telepon kudengar suara putriku emosional. Dia katakan, suaminya sedang
berada di salah satu menara kembar World Trade Center saat
pesawat-pesawat gila itu menabrak sepasang gedung tersebut satu demi
satu dua hari sebelumnya.
Anehnya, dia menolak pulang ketika kuminta. Aku sedih, lalu marah,
namun perasaan itu tidak berguna. Maka aku pasrah dengan pilihan
hidupnya dan mungkin pula situasi yang tidak bisa kupahami seutuhnya.
Sedangkan si bungsu jarang berkabar. Dia rupanya mewarisi jenis
kehidupanku: tidak pernah menetap lama di satu tempat. Seperti juga aku,
dia malas menulis surat. Hanya kartu-kartu bergambar yang dikirimkan.
Dia tidak segigih kakaknya meminta aku agar menggunakan Skype. Terakhir
ia menelepon dari India. ”Mohon restu Papa, saya mau ke Tibet,” katanya.
Aneh, tidak biasanya ia meminta restu segala. Suaranya berat tiada nada
riangnya. Ada apa?
”Tidak ada apa-apa. Cuma minta doa restu, besok saya berangkat ke Potala.”
Aku tidak bertanya apa yang dia cari di kota seperti itu. Apakah
gerangan yang dicari seorang petualang? Dapatkah dirumuskan? Aku juga
dulu begitu.
”Baiklah.”
Aku tidak bertanya kapankah dia akan pulang. Kukira, seorang
pengembara baru akan pulang kalau dia merasa sudah waktunya pulang. Aku
tak pernah bertanya bagaimana dia memenuhi kebutuhan pribadinya. Aku
yakin dia dapat melakukan apa saja dengan keprigelan tangannya. Sejak
kecil ia terampil melukis batik pada permukaan apa saja: kertas, kain,
batu, kayu. Dia pernah mengirimkan foto dirinya diapit sepasang
suami-istri Belgia di depan Angkor Wat. Dia bilang, mereka adalah
pembeli scarf buatannya.
Saat gagang telepon kuletakkan, aku belum menyadari gaung yang lebih
panjang dari sekadar permohonan restu. Hal itu baru terasa mendera batin
setelah tahun demi tahun berlalu dan tak pernah ada kartu bergambar
atau telepon lagi. Sekali waktu, ketika aku merindukan dia, emosiku
meronta. Apa yang menelan dia? Apakah yang menimpa dia di negeri yang
aneh itu? Apakah dia bertapa untuk menggapai moksa? Atau… ah, aku tidak
berani meneruskan dugaan ke titik ekstrem. Dia masih muda. Akulah yang
lebih pantas rampung lebih dulu. namun, mengapa sampai tak ada waktu
untuk menelepon ayahnya?
Aku hanya bisa memasuki dunia kosong tanpa tangis yang sangat dalam
sehingga diri hilang lenyap dari dunia artikulasi verbal. Aku baru
tersadar ketika pundakku ditepuk-tepuk Ni Paimah si tukang masak. Dia
bilang makan malam sudah siap. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu,
dia sudah terseok-seok kembali ke dapur.
Sebelum Desember berlalu, Ni Paimah dan suaminya kuberhentikan dan kujual rumah besar di Ibu Kota.
Rumah Ibu di tepi Cikapundung tak berkutik dijepit rumah-rumah yang
semakin rapat mendesak memaksa. Gang menyempit. Tiada lagi tanah lapang
dan rumpun bambu di bantaran sungai yang selalu mendesis jika angin
membelai dedaunannya yang rimbun.
Di sinilah kini aku berdiri, di jembatan tua yang kikuk menanggapi
perubahan zaman. Kurenungi permukaan gelap wajah yang lesu pada saat
gerimis akhir bulan Desember menciumi tanpa suara.
Di sini akan kuhabiskan sisa usia sebab di sini ada sahabat setia
yang kupercaya untuk menitipkan cerita-cerita. Seperti juga aku, dia
sudah tua, tidak segemilang dulu. Tidak terdengar lagi gemercik arus
yang riang spontan atau air yang jernih. Limbah manusia telah menodai
kemurniannya yang naif. Cikapundung sungai yang dirundung murung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar